Dan perlu tetap kita sadari, meskipun berpendidikan tinggi, guru tetap memiliki peluang kegagalan yang besar. Tingkat pencapaian pendidikan (formal) belum menentukan segala-galanya. Gelar yang disandang guru, bukanlah jaminan keberhasilan. Bahkan, sebaliknya, sangat mungkin gelar atau status pendidikan yang dimiliki guru dapat menjadi bumerang menuju kegagalan. Hal ini bisa terjadi ketika guru terlalu yakin dengan kemampuan yang dimilikinya, atau terlalu percaya diri dengan ilmu yang telah dipelajarinya di bangku kuliah dulu.
Kita sering lupa bahwa, sebagai manusia, kita hanya mampu berusaha. Selebihnya, keputusan akhir tentang hasil usaha kita tetap bergantung kepada Allah swt. Sebagian dari kita kerap lupa, bekerja keras mesti diikuti dengan bertawakkal, yakni berserah diri kepada Allah serta mengharapkan peran Allah sebagai Sang Pencipta dan Pengatur.
Sikap guru yang terlalu yakin dengan kemampuannya, hingga mengabaikan peran Allah akan membuatnya kehilangan kekuatan jiwa tatkala menjumpai masalah. Padahal, terlalu banyak masalah dalam dunia pendidikan dan bisa terjadi setiap waktu. Salah satu masalah terpenting yang senantiasa dihadapi guru adalah subyek pendidikan, yakni murid. Murid adalah anak manusia, sedangkan manusia dalam segala sisi kehidupannya masih tetap misteri. Manusia tidak bisa dihadapi dengan rumus-rumus baku yang bisa dihapal dan dicatat. Kemisteriusan manusia ini tetap melekat dalam kehidupannya dan menjadi bagian dari rahasia Sang Pencipta.
Ilmu yang didapat guru semasa kuliah hanya bisa digunakan sebagai pedoman. Sementara itu berhasil tidaknya proses pembelajaran tetap harus diserahkan kepada Allah. Doa-doa yang selalu dipanjatkan guru bakal turut menentukan keberhasilan lebih lanjut. Intinya, guru harus senantiasa melibatkan Allah dalam menjalani profesinya. Sebabnya, sebagai Sang Pencipta, Allah-lah yang paling mengetahui seluk beluk ciptaan Nya, dalam hal ini, diri manusia.
Rasa putus asa akibat hilangnya kekuatan jiwa akan mudah membawa guru pada sikap keras hati dan kasar kepada anak didik. Padahal, sikap seperti inilah yang justru akan membuat dia tidak memiliki kharisma di hadapan siswanya itu. Dia tidak bisa tampil menjadi figur yang “sejuk” karena sikap kasarnya itu. Guru yang seperti ini tidak akan memiliki wibawa, sehingga kata-katanya menjadi tidak memiliki bobot yang berarti untuk mempengaruhi jiwa siswa. Dari sinilah kegagalan demi kegagalan seorang guru dimulai. Bagaimana mungkin guru bisa menanamkan nilai dan ilmu bila kata-katanya sudah tidak lagi meninggalkan kesan yanng mendalam pada jiwa anak?
Sebaliknya, guru yang dalam pekerjaanya selalu menyerahkan hasilnya kepada Allah, niscaya ia akan berada dalam situasi yang seimbang antara harap dan cemas. Situasi seperti ini akan membuat hatinya tidak keras, sehingga lebih mudah berlaku lembut dan menerima keadaan siswa apa adanya. Emosinya tetap stabil baik ketika ia bertemu dengan siswa yang berperilaku baik ataupun jelek. Kelembutan semacam ini akan membuat dia terhindar dari masalah. Emosionalitas seorang guru yang stabil akan membuat anak didik senang berdekat-dekat kepadanya. Karenanya itu, kalimat-kalimatnya akan mudah diterima dan dipahami siswa. Nah, kalau kalimat-kalimat seorang guru didengar siswanya, maka harapan untuk mudah mentransformasikan materi pelajaran, melalui pengajaran yang dilaksanakannya akan mudah diterimanya.
Disinilah tampak adanya hubungan timbal balik antara kelembutan bukan kelemahan hati seorang guru dengan tingginya prestasi anak. Seperti sudah ditandaskan di atas, Allah swt. Telah berfirman : “Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari segururmu “ (Q.S. Ali Imran [3]: 159). Dalam ayat lain Allah juga berfirman, “Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya (Firaun) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan dia sadar atau takut” (Q.S. Tāhā [20]: 44). Maha Benar Allah dengan segala firmannya.
Bila orang mencintai sesuatu pastilah ia akan berperilaku lembut terhadap sesuatu yang dicintainya itu. Lantas, obyek yang “dilembuti” tersebut akan langsung merasakan bahwa saat itu ia sedang dicintai. Sebaliknya, obyek yang dikasari akan merasa bahwa ia sedang tidak dicintai. Maka, demikianlah halnya dengan anak didik. Jika siswa selalu menemukan kelembutan setiap kali berinteraksi dengan guru, maka siswa akan meyakini bahwa guru memang mencintai mereka. Dan, anak yang merasa dicintai guru akan memiliki kecenderungan yang sangat kuat untuk membalas mencintai guru.
Balasan cinta murid terhadap cinta guru adalah munculnya sikap patuh, senang berdekat-dekat, selalu ingin berbuat sesuatu yang menyenangkan guru, menjadikan guru sebagai tempat mengadu, mudah menerima segala keputusan yang diambil guru, bahkan mengidolakan guru. Sifat-sifat ini sangat positif dalam memacu prestasi murid. Guru harus mampu mengambil hati murid agar mereka bisa bersikap positif terhadap dirinya. Jika sudah seperti ini, murid takkan mengerjakan isntruksi guru secara terpaksa. Namun, murid akan melaksanakan tugas dan petunjuk guru dengan senang hati dan santai. Hal ini akan mudah memunculkan kreativitas, bukan kejenuhan, di dalam diri murid.
Nah, dengan modal utama cinta adalah kelembutan sikap. Kelembutan akan membuahkan cinta, dan cinta akan semakin merekatkan hubungan guru dengan para siswanya. Berlakulah secara lembut kepada murid sepanjang waktu, niscaya murid tak akan meninggalkan guru. Walaupun hal ini tidak mudah dilaksanakan, namun tak ada alasan bagi seorang guru untuk berbuat kasar atau keras. Seperti sudah ditegaskan dari awal, bahwasannya pendidikan adalah dunia yang terlahir dari rahim kasih sayang. Seorang ibu yang mengasuh dan membesarkan anaknya adalah wujud rasa kasih sayangnya yangbegitu besar. Kalau seorang ibu sudah digelapkan hatinya hingga ia tidak memiliki rasa kasih sayang kepada bayinya, maka tentu ia akan membuang atau meninggalkan bayinya itu jauh-jauh, bukan repot-repaot mendidiknya. Nah, pendidikan lahir dari kasih sayang seperti itu.
Imam Sugiyanto
Kertagena Daja o2 Kadur
Medio Juni 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar